Kebiasaan halal bi halal, atau saling memaafkan pada hari lebaran hanyalah lokalitas bangsa Indonesia, bukan ajaran Islam. Budaya tersebut sebenarnya baik bila dibiasakan setiap saat, tidak khusus waktu lebaran saja. Sebab pada dasarnya manusia itu tempatnya salah dan dosa. Apabila kita bersalah, maka segeralah meminta maaf pada yang bersangkutan dan bertaubat kepada Allah. Bukan menunda-nunda, apalagi menunggu hari raya.
Bersegera Meminta MaafContohnya Abu Dzar yang pernah marah hingga memanggil Bilal dengan sebutan yang jelek. Rosulullah saw yang mendengarnya mengingatkan, “berkurang satu pahala, berkurang satu pahala.”
Spontan Abu Dzar meletakkan pipinya di atas tanah dan berkata, “Ini pipiku, wahai Bilal, injaklah sebagai balasan penghinaanku padamu.”
Raja dan Rakyat SamaDalam peristiwa lain di zaman kekhilafahan Umar r.a. seorang Raja Ghasasinah pergi ke Ka’bah tak lama setelah ia masuk Islam. Tatkala ia bertawaf jubahnya terinjak oleh orang lain. Raja tersebut marah lalu menamparnya. Peristiwa ini diadukan kepada Amirul Mukminin (gelar pemimpin di negara Islam) Umar bin Khothob.
Menerima aduan tersebut, Umar mengadili keduanya dan memberikan pilihan, “Engkau (si raja) harus meminta maaf sampai dia (yang ditampar) rela, atau aku memerintahkannya untuk membalas menempelengmu!”
Raja Ghasasinah itu terkejut, “Bagaimana mungkin Engkau menyamakan aku dengannya, padahal saya raja dan dia rakyat biasa?” Sanggahnya.
“Karena Islam menganggap sama antara kalian berdua, tidak ada perbedaan antara raja dengan rakyat.” Tegas Umar.
Tegakkan Keadilan Baru MemaafkanDisinilah keadilan dalam Islam, apabila ada orang bersalah maka sudah menjadi kewajibannya untuk meminta maaf sampai korbannya memaafkan, jadi bukan asal mengucapkan kata maaf, melainkan dengan kesungguhan dan penyesalan. Apabila tidak mau meminta maaf, maka pihak yang menjadi korban boleh saja mengadukan ke pengadilan dan meminta pembalasan.
Namun keadilan ini sulit diharapkan dalam sebuah negara yang tidak menghormati syariah Islam. Yang ada justru kembali ke jaman kerajaan dimana pejabat dan pemimpin merasa dirinya lebih mulia daripada rakyatnya sehingga kejahatan yang dilakukan pejabat tidak dapat diadili. Sedangkan kejahatan dari rakyat seringkali dihukum dengan berlebihan, bahkan tanpa lewat pengadilan.
Padahal Al-Qur’an telah menetapkan keadilan lewat hukumNya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisos (membalas) berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS Al Baqoroh ayat 178)
Qisos ialah mengambil pembalasan yang sama. Misalnya kalau membunuh ya dihukum bunuh oleh pengadilan, kalau melukai ya dilukai, memukul juga dibalas pukul. Apabila pihak korban (atau ahli warisnya) memberi maaf, maka qisos dibatalkan. Sebagai gantinya, pihak yang bersalah harus membayar diyat (denda). Ketentuan diyat ini dijelaskan dalam hukum Islam. Misalnya, untuk kasus pembunuhan, maka si pembunuh harus membayar 100 ekor unta pada keluarga korban. Ini tentu tidak dapat mengembalikan nyawa orang yang dibunuhnya, namun dapat membantu menyenangkan dan meringankan kehidupan perekonomian pihak korban.
Bila qisos atau diyat ini ditempuh, maka Allah menghapus dosa dari si pendosa. Di akhirat kelak dia tidak lagi disiksa. Namun bila si pendosa lolos dari jerat hukum, dan tidak meminta maaf pada keluarga korban, maka dosanya akan diadili kelak di akhirat, dan Allah akan menjatuhkan siksa yang jauh lebih pedih daripada hukuman di dunia.
Jadi masalah bermaaf-maafan sebenarnya adalah masalah keadilan, yang ditegakkan melalui peradilan dalam Islam. Bukan sekedar lewat kartu ucapan atau bersalam-salaman. Dengan cara Islam, keridhoan akan diberikan dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar basa-basi.
Si Pemegang Amanah, Penjalin Persaudaraan, dan PemaafAlkisah ada seorang penggembala mengejar unta-untanya yang masuk ke kebun orang. Sebelum sempat dihalaunya keluar, pemilik kebun datang dan melempari perusak kebunnya hingga salah seekor unta mati terkena batu.. Merasa harus melindungi unta yang diamanahkan padanya, si penggembala membalas melempari si pemilik kebun, hingga tewaslah ia.
Peristiwa ini diketahui anak pemilik kebun sehingga bangkitlah kemarahannya, lalu dilaporkannya pada kepala negara Islam saat itu, Umar bin Khoththob. Si penggembala dipanggil dan ia mengakui seluruh perbuatannya. Sebelum menjatuhkan sanksi Amirul Mukminin menanyakan kesediaan ahli waris korban, yakni anak si pemilik kebun itu memaafkan si penggembala.
Namun kemarahannya sudah menutup pintu maaf di hatinya, maka tak lain qisos-lah hukumannya. Umar lalu menanyakan apa permintaan terakhir dari si penggembala. Dijawabnya, ”Wahai Amirul Mukminin, selama ini aku dipercaya menyimpan harta waris tiga anak yatim yang dalam asuhanku. Setelah mereka dewasa, harta itu sedianya akan kukembalikan pada mereka. Oleh karena itu, izinkan aku mengembalikan amanah itu, atau barangkali meminta orang lain untuk menggantikan tugasku. Demi Allah, aku sama sekali tak ingin matidengan menyimpan amanah di tanganku sendiri. Mohon, berikan kepadaku penundaan hukuman selama tiga hari saja agar aku dapat menyelesaikan amanah dengan sebaik-baiknya.”
3 Hari! Siapa percaya? Anak pemilik kebun jelas merasa keberatan dengan itu. Maka Umar menolaknya, “Aku tidak bisa melepaskanmu tanpa jaminan.”
Majulah seorang pemuda yang hadir dalam majelis peradilan Islam itu, “Saya bersedia menjaminnya, wahai Amirul Mukminin.”
“Ketahuilah jika dia tidak kembali, maka engkau penggantinya.” Kata Umar. Dengan demikian dilepaslah di penggembala itu selama waktu yang dimintanya.
Selang tiga hari kemudian, peradilan dibuka kembali. Anak pemilik kebun, Amirul Mukminin, dan si penjamin didatangkan di majelis itu. Namun si penggembala tidak ada. Semua menunggu cemas hingga detik-detik akhir pengeksekusian.
Tiba-tiba datanglah seorang penunggang kuda, dengan terburu-buru dia turun dan berlari menyeruak ke majelis Umar. Ternyata dialah si penggembala. Dengan tersengal ia memohon maaf atas keterlambatannya, lalu berdiri ke tempat eksekusi.
Ditanyalah oleh Umar, “Kenapa engkau kembali, padahal bisa saja kau lari dan bebas?”
Si penggembala menjawab, “Kalau aku lari, dimana letak menunaikan amanah dalam Islam?”
Umar tersenyum, lalu ia menoleh pada si penjamin, “Kenapa engkau mau menjaminnya, padahal sama saja engkau menggantikan mati?”
Dijawab olehnya, “Kalau tidak ada yang menjamin, dimana letak persaudaraan dalam Islam?”
Menyaksikan itu semua, berlinanglah air mata, dan anak pemilik kebun serta-merta memaafkan pembunnh ayahnya. Qisos pun dibatalkan.
Umar bertanya pada anak pemilik kebun, “Kenapa anda memaafkannya?”
Anak pemilik kebun menjawab, “Kalau tidak ada pemaafan, dimana letak kasih sayang dalam Islam?”
Silaturahim, Bukan Sekedar MengunjungiKebiasaan halal bi halal, atau saling memaafkan pada hari lebaran hanyalah lokalitas bangsa Indonesia, bukan ajaran Islam. Budaya tersebut sebenarnya baik bila dibiasakan setiap saat, tidak khusus waktu lebaran saja. Sebab pada dasarnya manusia itu tempatnya salah dan dosa. Apabila kita bersalah, maka segeralah meminta maaf pada yang bersangkutan dan bertaubat kepada Allah. Bukan menunda-nunda, apalagi menunggu hari raya.
Tapi yang lebih penting lagi adalah jangan hanya kita meminta maaf tiap lebaran kemudian kita ulangi terus kesalahan kita pada orang lain. Karena sesungguhnya orang yang demikian adalah orang yang selalu merugikan orang lain dan tidak memahami arti Lebaran atau Idul Fitri
Tapi yang lebih penting lagi adalah jangan hanya kita meminta maaf tiap lebaran kemudian kita ulangi terus kesalahan kita pada orang lain. Karena sesungguhnya orang yang demikian adalah orang yang selalu merugikan orang lain dan tidak memahami arti Lebaran atau Idul Fitri